
PENGAMAT politik Ray Rangkuti, mengatakan persoalan utama yang membelit DPR dan politisi Indonesia yakni lemahnya pemahaman etik demokrasi. Oleh karena itu, ia menilai reformasi internal DPR tidak cukup hanya dengan wacana pemangkasan gaji dan tunjangan.
"Masalah utama DPR kita saat ini, bahkan politisi umumnya, adalah memahami etik demokrasi. Suatu pandangan bahwa demokrasi bukan hanya sekedar aturan tertulis, tapi juga soal patut, tidak patut," ujarnya saat dihubungi, Senin (8/9).
Ray menilai, praktik politik saat ini menghasilkan pola pikir pragmatis. Akibatnya, kepentingan publik kerap dikalahkan oleh kepentingan kelompok, keluarga, bahkan individu. Situasi ini, menurutnya, membuka ruang subur bagi politik dinasti, oligarki, dan praktik korupsi.
"Ujung dinasti ini melahirkan oligarki dan korupsi. Suasana saling mengait inilah yang membuat demokrasi jeblok, menjadi semata alat bagi kepentingan dinasti dan oligarki mempertahankan kekuasaan," jelas Ray.
Hal itu, lanjutnya, dapat dilihat dari komposisi parlemen saat ini. Data Formappi menunjukkan sekitar 14% anggota DPR terkait dengan politik dinasti, sementara Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat hampir 30%. Selain itu, 61% anggota DPR disebut berasal dari kalangan pengusaha.
Dengan konfigurasi seperti ini, Ray menilai wajar bila DPR kerap gagal memperjuangkan kepentingan rakyat. Ia pun menegaskan, reformasi yang mendesak bukan hanya menyentuh sistem, melainkan menyangkut perbaikan sikap moral para politisi.
"Maka alih-alih perbaikan sistem, ada lagi yang lebih mendesak memperbaiki moralitas demokrasi," pungkas Ray. (H-4)