Liputan6.com, Jakarta - Fenomena gaya keterikatan atau attachment style tengah jadi perbincangan hangat di kalangan Gen Z. Topik ini ramai diperbincangkan di media sosial karena dianggap mampu menjelaskan mengapa sebuah hubungan asmara bisa berjalan mulus atau justru penuh drama.
Secara umum, psikologi mengenal empat tipe gaya keterikatan, yaitu secure, anxious, avoidant, dan disorganized. Teori ini menyebutkan bahwa pola keterikatan terbentuk sejak masa kanak-kanak, dipengaruhi oleh faktor genetik serta hubungan dengan pengasuh utama.
Dilansir dari Health, keterikatan yang sehat biasanya terbentuk dari pola asuh orang tua yang konsisten dalam memberikan dukungan emosional.
Sebaliknya, anak yang tumbuh dengan pengalaman diabaikan atau kurang mendapat perhatian emosional bisa mengembangkan gaya keterikatan yang cenderung rapuh.
Dalam sebuah survei kecil yang dilakukan Health Liputan6.com terhadap 10 responden Gen Z, sebanyak 60 persen menyebut pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada cara mereka menjalin hubungan.
Sementara itu, 30 persen menganggap pola asuh cukup berpengaruh. "Saya banyak bercermin dari sifat dan kepribadian orang tua untuk menilai sesuatu yang saya hadapi saat ini," ujar Deniz, salah satu responden.
Anxious vs Avoidant: Pasangan yang Sering Berkonflik
Namun, tidak semua Gen Z sepakat. Sekar, responden lain, menilai bahwa pengalaman bersama mantan pasangan justru lebih membentuk gaya keterikatannya.
"Orang tua memperlakukan aku dengan baik banget, tapi semenjak sering dibohongin mantan, aku jadi anxious," kata Sekar.
Dua tipe gaya keterikatan yang paling banyak muncul dalam cerita Gen Z adalah anxious attachment dan avoidant attachment.
Orang dengan gaya anxious attachment biasanya sangat takut ditinggalkan, mudah panik jika pasangan tidak segera merespons pesan, dan terus-menerus mencari kepastian.
"Kalau seseorang enggak balas pesan cepat, aku langsung takut ditinggalin," kata Zahra, responden dengan gaya keterikatan anxious.
Sebaliknya, orang dengan gaya avoidant attachment cenderung menjaga jarak. Mereka nyaman dengan kemandirian, sulit percaya pada orang lain, dan sering menghindari kedekatan emosional.
"Ketika dekat dengan seseorang, aku enggak selalu ingin berdekatan, kadang malah ingin menjauh," kata Ghita, salah satu responden dengan gaya avoidant.
Fenomena ini sering menimbulkan konflik jika kedua tipe ini menjalin hubungan asmara. Perbedaan pola komunikasi antara anxious yang menuntut kepastian dan avoidant yang menjaga jarak menciptakan siklus kesalahpahaman.
Masa Kecil dan Pola Asuh
Menurut WebMD, avoidant attachment biasanya terbentuk dari masa kecil dengan orang tua yang kaku atau absen secara emosional.
Anak memang terpenuhi kebutuhan fisiknya, tapi kebutuhan emosionalnya sering diabaikan. Akibatnya, mereka belajar menenangkan diri sendiri dan enggan menunjukkan emosi.
Sementara itu, anxious attachment bisa muncul dari pola asuh yang tidak konsisten. Anak terbiasa mendapat perhatian secara tidak terduga, sehingga tumbuh dengan rasa cemas dan butuh kepastian terus-menerus dalam hubungan.
"Cara keluarga memperlakukan kita waktu kecil biasanya jadi cetakan pertama tentang gimana kita melihat kasih sayang, kepercayaan, bahkan konflik. Pola itu kebawa ke hubungan sekarang, entah disadari atau enggak," kata Ridwan, salah satu responden survei.
Bisa Berubah Seiring Dewasa
Meski begitu, gaya keterikatan tidak bersifat permanen. Pengalaman hidup, lingkungan, serta hubungan yang sehat bisa membantu seseorang berpindah ke pola yang lebih aman.
Orang dengan gaya secure umumnya lebih mudah membangun kepercayaan, mampu berkomunikasi dengan baik, dan tidak takut dengan komitmen. Inilah yang membuat hubungan mereka cenderung lebih stabil dibanding tipe lainnya.
Psikolog menyarankan untuk mengenali gaya keterikatan sejak dini bisa menjadi langkah penting dalam membangun hubungan yang lebih sehat.
Dengan memahami pola diri sendiri dan pasangan, konflik dapat diminimalisir dan hubungan bisa berjalan lebih harmonis.