Toyota Indonesia sadar betul dalam misi penurunan emisi karbon bisa tercapai melalui pendekatan holistik, disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya energi sumber negara. Di Indonesia, salah satu yang memiliki potensi besar adalah penggunaan bioenergi untuk banyak sektor.
Terlebih, Indonesia tengah mengejar utilisasi energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 dan menjadi 31 persen pada 2030. Di sektor otomotif, biofuel berupa bioetanol sebagai bahan bakar EBT bisa jadi solusi yang menawarkan banyak benefit.
Sebagai sumber energi alternatif, ketahanan energi dengan mengurangi impor bahan bakar minyak dan memanfaatkan sumber bahan baku yang bisa diperbarui, mengurangi emisi gas rumah kaca, menciptakan lapangan kerja, peluang bisnis baru, hingga pemanfaatan limbah organik.
Atas dasar itu, pabrikan menginisiasi hadirnya produk flexy fuel vehicle (FFV) berupa Toyota Fortuner hingga kendaraan elektrifikasi Toyota Kijang Innova Hybrid, yang keduanya bisa menenggak bahan bakar fosil atau bioetanol hingga kadar tinggi. Meskipun saat ini mesin kendaraan Toyota sudah mampu menenggak bahan bakar dengan campuran etanol tanpa ubahan spesifikasi.
"Kami berusaha pro aktif menyediakan kendaraan kompatibel dengan energi yang ada, bukannya anti BEV (battery electric vehicle) karena kami juga kembangkan BEV, tapi untuk yamg digunakan masyarakat luas disesuaikan dengan ketersediaan energi di negara masing-masing," buka Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam di Karawang, Jawa Barat, Kamis (5/9).
"Di kami 20 tahun lalu telah memproduksi mesin etanol dan diekspor ke Brazil karena di sini enggak ada dan 20 tahun kemudian kita bicara bioetanol," tambahnya.
Indonesia kata Ahli Proses Konversi Biomassa Institut Teknologi Bandung (ITB) Ronny Purwadi bisa menghasilkan bioetanol dari berbagai sumber daya alam. Mulai dari bahan yang mengandung gula dari nira tebu, batang sorgum, atau batang sawit.
Bisa juga dari bahan lain yang mengandung pati seperti singkong, jagung, sagu, dan sorgum. Pada inovasi berikutnya, bioetanol bisa dihasilkan dari tandan kosong sawit, bagase tebu, tongkol jagung, serbuk gergaji, dan jerami padi.
"Inilah biofuel next generation yang kita kenal dengan drop, yang bisa digunakan langsung tanpa harus dicampur. Misalnya biodiesel sekarang 35 persen, naik 55 persen pasti mikir dulu bisa enggak, tapi untuk drop ini langsung digunakan karena bahan bakarnya serupa dengan fosil," katanya.
Realisasinya saat ini di Indonesia masih campuran dengan kadar lima persen dari molase tebu, yang bisa terus ditingkatkan seperti halnya biodiesel yang berangsur-angsur meningkat dari 20 menjadi saat ini 35 persen.
Hanya saja belum ada perusahaan dedicated yang memproduksi biofuel di Indonesia. Sawit yang potensinya besar, produk turunannya masih berfokus pada bahan makanan dan kosmetik.