“Sejak kecil saya yang memang sipit dan beragama Kristen ini sudah merasakan hidup sebagai kaum minoritas yang tidak punya power di Indonesia. Jadi tertanam di pikiran saya, ketika kita tidak suka dengan suatu keadaan/tempat, bukan mayoritas yang harus berubah, tetapi minoritas lah yang harus menerima/pindah.”Kevin, eks WNI yang kini jadi WN Jepang, mengenang alasannya meninggalkan tanah air.
Sejak 2018 ia tinggal di Negeri Sakura untuk sekolah lalu bekerja. Lima tahun kemudian, pada 2022, ia mulai mengurus proses pindah warga negara (naturalisasi). Proses ini selesai di 2023. Di bulan Desember tahun itu, ia resmi menjadi WN Jepang.Kevin kini bekerja sebagai supervisor tim penerjemah di sebuah perusahaan mobil asal Jepang. Kepergiannya dari Indonesia ia akui imbas polarisasi politik di sekitar Pilgub Jakarta 2017.Kencangnya represi pada kelompok minoritas membuat ia merasa tak lagi diterima menjadi WNI.“[Mulai terpikir untuk pindah] sejak tahun 2016, ketika ada demo besar-besaran di Monas yang dilakukan oleh suatu ormas, lalu banyak sekali orang di sekeliling saya yang berubah mengafir-kafirkan saya, padahal saya tidak melakukan apa-apa. Di saat itu saya merasa tidak pantas menjadi warga negara Indonesia dan tidak pantas numpang tinggal di Indonesia,” tutur Kevin kepada VICE.Kevin adalah minoritas ganda. Agamanya Kristen dan etnisnya Tionghoa. Karena itu, “mengubah dari dalam” tak pernah masuk pilihannya. Ia menilai cuma bisa menerima atau pergi sekalian.Ketika terbang ke Jepang, ia hanya membawa bekal 60 ribu yen pemberian orang tua. Nilainya setara Rp6,5 juta menurut kurs saat ini.Selama lima tahun pertama, Kevin bekerja keras agar bertahan di negara asing. “Sampai detik ini saya tidak pernah minta uang lagi kepada orang tua. Semua biaya sendiri, termasuk biaya hidup, sekolah, dan lainnya,” kata Kevin.
Kisah tiga generasi keluarga terpaksa pindah keluar negeri karena geger politik
Kris, bukan nama sebenarnya, juga menanggalkan status WNI-nya karena kehilangan perasaan aman. Sejak 2020 ia adalah WN Swedia.Di Indonesia, ia minoritas rangkap tiga. “Bukan Islam, setengah Tionghoa, dan bukan straight [orientasi seksual].”Tak cuma sampai situ, tiga generasi berturut-turut dalam keluarganya, semua pernah mengecap rasanya tidak dilindungi negara Indonesia sehingga harus mengamankan diri ke luar negeri.“Dari keluarga sendiri sudah selalu ada ide dan gagasan untuk pergi. Beberapa anggota keluarga dari pihak Oma waktu tahun 1966 itu juga beberapa pergi dari Indonesia dan menetap di China, Hong Kong, atau di Makau.” Di periode itu, sentimen terhadap etnis Tionghoa meningkat seiring Tragedi ‘65.“Oma sendiri memutuskan untuk tetap tinggal di Indonesia. Lalu di tahun 1998, beberapa anggota keluarga dari Bapak diberi peluang mendapatkan green card gratis dari Amerika Serikat waktu kerusuhan [dan mereka pun pindah]. Keluarga kami sebenarnya sudah sempat diajak, tapi Bapak-Ibu tidak mau.”“Mereka tipikal nilai Jawa sih, yang tidak mau meninggalkan rumah. Pejah gesang, hidup mati, ya di tanah itu,” tuturnya.Keputusan mencari tempat aman di tanah asing mulai singgah di pikiran Kris ketika pada 2010, terjadi penggerebekan Q! Film Festival di Jakarta oleh Front Pembela Islam. Festival film ini mengangkat isu queer, gender, dan HAM. Teman Kris yang menjadi panitia sempat ditangkap polisi. Walau kemudian dilepas, teman Kris diawasi. “sudah semacam tahanan politik saja,” ujar Kris.
Persekusi LGBT kembali terjadi pada 2015. Dan di tahun yang sama, Kris dan sekeluarga mengalami langsung rasanya persekusi berlandaskan agama.“Ada satu kejadian di 22 Juli 2015. Saat itu kami ada acara di Galeri Tembi, Bantul. Kebetulan waktu itu Gereja Gamping baru saja mendapatkan 14 lukisan Kisah Sengsara Yesus yang digambar dengan gaya gambar wayang. Lalu lukisan-lukisan itu dipamerkan di Galeri Tembi karena memang dianggap sebagai karya seni kan. Dalam acara pembukaan pameran itu sendiri, ada penampilan resital tari yang diinspirasi oleh Kisah Maria.”“Entah bagaimana, saat pembukaan pameran itu, ada ormas yang datang dan mengepung kami, mengatakan bahwa tidak boleh ada Kristenisasi. Tidak boleh ada kegiatan ibadah di luar tempat ibadah. Padahal itu bukan. Sama sekali tidak ada kegiatan ibadah. Semua kegiatan seni. Kami dikepung sekitar 4 jam waktu itu. Tidak ada yang bisa keluar sampai sekitar jam 11 malam.”“Polisi hanya mengatakannya, ‘Sudahlah, ikuti saja kemauan mereka.’ Lalu, berita itu ditutup. Tidak boleh ada yang menyebarkan. Tidak boleh ada yang berbicara tentang kejadian itu karena ditakutkan akan merembet dan menyebabkan kerusuhan,” kenang Kris.“[Sejak itu di keluarga] mulai ada ketidakpercayaan terhadap perlindungan negara.”Di periode kurang lebih sama, iklim politik membuat Kris tak lagi nyaman berada di lingkungan kerja. “Istilahnya saya depressed untuk resign karena identitas saya.”
Begitu berkesempatan studi di Swedia pada 2017, ia tak menyia-nyiakannya. Orang tua pun mendukung. “Mereka bilang, ya sudah, pindah aja, karena kami menyesal tidak mengambil kesempatan itu dulu.”“Mereka melihat bahwa kondisinya [toleransi di Indonesia] semakin buruk terutama di 10 tahun belakangan.”
Polarisasi politik di Indonesia kontemporer
Menurut peneliti politik Abdul Gaffar Karim dalam artikel jurnalnya (2019), politik polarisasi di Indonesia kiwari muncul sejak Pilpres 2014 dan bergema kembali pada Pilgub Jakarta 2017. Di saat yang sama, penelitian tentang polarisasi politik di Indonesia masih minim.”[...] terjadi polarisasi yang sangat kentara sejak Pilpres 2014. Polarisasi itu tidak hanya berlangsung dalam tahap pre-election namun berlanjut hingga ke masa post-election – dipreservasi [diawetkan, redaksi] terutama lewat media sosial,” tulis Karim.“Polarisasi yang terbentuk di tahun 2014 akhirnya memang dimatangkan oleh apa yang terjadi di DKI tahun 2016 dan 2017.”Polarisasi politik adalah perbedaan sikap politik di masyarakat yang mengarah ke dua kutub ideologis. Masing-masing kubu politik dan para pendukungnya membuat garis pembatas antara “kami” dan “kalian”.Peneliti politik dari Universitas Helsinki, Emilia Palonen, menyebut bahwa tidak ada wilayah tengah dalam polarisasi politik. Setiap orang didesak untuk menentukan pilihan berada di sisi mana.
Artikel Pew Research Center tentang polarisasi politik di Amerika Serikat menyebut, di negara tersebut, orang-orang dengan posisi ideologis partisan semakin ekspresif untuk menyatakan pilihan politiknya kepada orang-orang terdekat mereka.Pengikut Liberal dan Konservatif juga punya perbedaan pendapat soal di mana mereka ingin tinggal, dengan siapa mereka ingin tinggal berdampingan, serta orang seperti apa yang akan diterima di keluarga mereka.Seperti disaksikan publik, polarisasi politik di Indonesia sejak 2014 berbuah konflik sosial dan persekusi. Untuk menyebut contoh, di 2017, muncul kasus warga di Jakarta baru mau menyalatkan dan memakamkan jenazah jika keluarga almarhum berjanji akan memilih calon gubernur tertentu.Sementara di Yogyakarta, sepanjang 2018-2019 terjadi kasus-kasus perusakan salib di makam (ini dan ini). Ada salib yang dipotong, dibakar, dan dirusak.Ini belum menghitung ujaran kebencian berlandaskan pilihan politik yang memang tak terhitung jumlahnya di media sosial.